Bagaimana Haji Agus Salim Belajar
Agus
Salim sulit untuk belajar di rumah, menurutnya, jika belajar di rumah
selalu saja diganggu. Ia disuruh orang tuanya untuk mengerjakan hal-hal
yang biasanya ada di dalam keluarga atau kerap diajak teman-temannya
untuk bermain. Lalu Agus Salim menemukan cara yang unik untuk
menghindari gangguan-gangguan tersebut. Siang hari setelah makan,
diam-diam ia naik ke atap rumah, lalu mengkaji kembali pelajaran yang
telah di dapatnya hari itu dan pelajaran untuk besok. Agus Salim membuka
beberapa genteng karena di dalam atap rumah gelap sehingga cahaya dapat
dengan leluasa untuk masuk. Selesai belajar, Ia menutup kembali genteng
itu, lalu turun. Selanjutnya Ia membantu pekerjaan orang tuanya di
rumah, atau pergi bermain dengan teman-temannya.
Haji
Zaenal menuturkan bahwa Agus Salim pernah berkata kepadanya: ‘’hati tak
enak kalau tak belajar lebih dulu’’, suatu ungkapan yang sangat patut
untuk ditiru. Cara belajar yang unik ini berlangsung cukup lama dan
pernah menyebabkan kehebohan di rumah. Suatu hari, setelah selesai
belajar, Agus Salim lupa untuk menutup genteng yang biasa dibukanya, hal
ini terjadi karena Agus Salim buru-buru mengikuti ajakan teman-temannya
untuk bermain. Tak disangka, pada hari itu hujan turun dengan deras,
sehingga menyebabkan kebocoran. Orang-orang di rumah berusaha untuk
mencari penyebabnya, setelah ketahuan bahwa ada beberapa genteng yang
terbuka, dengan segera, seluruh keluarga tahu siapa penyebab kebocoran
di rumah. Agus Salim yang baru pulang setelah bermain dengan
teman-temannya, hanya bisa tersenyum sambil berkata: ‘’Rasailah, maka
jangan suka menyuruh-nyuruh terus kalau saya lagi belajar’’.
Agus
Salim memang dikaruniai otak yang cerdas. Salah satu keistimewaannya
adalah kemampuannya mengerti dan mempergunakan berbagai bahasa asing
(poliglot). Dengan tekun Agus Salim mempelajari dan memperdalam
pengetahuannya dalam bahasa asing secara aktif, seperti dapat berbahasa
Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Arab, Turki, disamping
bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda dan lain-lain. Baginya
mudah untuk berbicara dengan mempergunakan berbagai bahasa dalam waktu
yang sama. Pengetahuan yang luas dalam bahasa ini sangat menunjang
kegemarannya membaca. Hal ini sangat sesuai dengan semboyannya, bahwa
bahasa adalah kunci ilmu pengetahuan. Kecerdasan Agus Salim tidak
didapatkan begitu saja, pada suatu waktu Haji Agus salim pernah
mengatakan bahwa orang jangan melihat kecerdasannya dari nilai-nilainya
yang tinggi saja, tapi lihatlah bagaimana kerasnya dia belajar.
Agus
Salim memiliki minat yang besar untuk melanjutkan pendidikannya.
Keadaan demikian, membuat salah satu gurunya ada yang mengusahakan agar
Agus Salim mendapat beasiswa ke sekolah kedokteran, yaitu School tot Opleiding van Inlandsche Artsen
(STOVIA). Selain itu, demi mengejar cita-citanya, Agus Salim berusaha
untuk mendapatkan beasiswa ke negeri Belanda. Tetapi semua usaha itu
gagal, sehingga beritanya terdengar oleh Raden Ajeng Kartini.
Raden
Ajeng Kartini ditawari beasiswa ke negeri Belanda oleh pemerintah.
Namun, adat kebudayaan bangsa Timur belum memberikan keleluasaan kepada
kaum wanita dan tidak lama lagi ia akan menikah. Oleh karena itu, Raden
Ajeng Kartini memberikan pertimbangan dan saran kepada pemerintah agar
beasiswa tersebut diberikan kepada Agus Salim. Dalam surat kepada
temannya yang bernama Ny. Abendenon (istri pejabat tinggi Belanda bidang
pendidikan), Kartini menumpahkan cerita mengenai Agus Salim, berikut
cuplikan suratnya :
24 Juli 1903
Saya
punya suatu permohonan yang penting sekali untuk Nyonya, tapi
sesungguhnya permohonan ittu ditujukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah
Nyonya meneruskannya kepadanya?.
Kami
tertarik sekali kepada seorang pemuda, kami ingin melihat dia
dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatera asal
Riau, yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah
di HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga
HBS!.
Anak
muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi
dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji
ayahnya Cuma F 150.- sebulan.
Jika dikehendaki, rasanya ia mau bekerja sebagai kelasi di kapal, asal saja boleh ia berlayar ke Negeri Belanda.
Tanyakan
pada Hasim tentang anak muda itu. Hasim kenal dia; pernah mendengar
anak muda itu bicara di STOVIA. Nampaknya ia seorang pemuda yang hebat
yang pantas diberi bantuan.
Ketika
kami mendengar tentang dia dan cita-citanya, muncul keinginan yang tak
terbendung untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan bebannya.
Teringat kami pada SK gubernemen tertanggal 7 Juni 1903 – SK yang
begitu didambakan sebelumnya tapi kemudian ketika kami terima,
dipandang dengan rasa pilu dan yang menyayat hati.
Apakah hasil sahabat-sahabat mulia, buah harapan dan doa kami akan lenyap saja, tak terpakai?.
Apakah tidak mungkin orang lain menikmati manfaatnya?, gubernemen menyediakan untuk kami berdua sejumlah uang 4800 gulden
guna menyelesaikan pendidikan kami. Apakah tidak bisa uang itu
dipindahkan kepada orang lain yang juga perlu dibantu, mungkin lebih
banyak kepentingan daripada kami!. Alangkah indahnya andai pemerintah
bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8000 gulden. Bila tak mungkin, kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima jumlah 4800 gulden yang disediakan untuk kami itu, untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain.
……………………………………………………………………………….
Banyak
sekali yang dapat dilakukan oleh Salim sebagai dokter untuk rakyatnya.
Dan sesungguhnyalah, adalah idaman Salim untuk bekerja untuk rakyat
kita!.
Permohonan
kami ini agak aneh, kami sadar akan hal itu, tapi kami akan memuji
syukur, jika ia dapat dipenuhi!. Ibu, perjuangan yang berbulan-bulan,
bertahun-tahun lamanya, tidak akan sia-sia dalam pandangan kami!.
Berikanlah
kami rasa mujur yang nikmat, yaitu menyaksikan buah perjuangan dan
penderitaan kami, tegasnya terwujud cita-cita Salim, selagi hayat masih
dikandung badan.
Salim
sendiri tidak tahu apa-apa; ia tidak tahu eksistensi kami malah. Yang
diketahuinya hanyalah bahwa dengan sepenuh hati ingin ia menyelesaikan
pelajarannya, agar kemudian dapat bekerja untuk rakyatnya. Dan ia juga
sadar, bahwa itu suatu idaman mustahil, karena ia tak mempunyai dana.
Kita hidup, kita berharap dan kita berdoa untuk pemuda Salim!.
Agus
Salim menolak beasiswa tersebut, ia berpendirian bahwa kalau pemerintah
Belanda mengirimnya ke Nederland karena desakan Kartini bukan karena
niat baik pemerintah Belanda maka lebih baik tidak berangkat. Hal ini menunjukkan sikapnya yang berkepribadian teguh.
Selama
2 tahun, Agus Salim menunggu keputusan beasiswa pemerintah yang
akhirnya tidak ia dapatkan. Pada akhirnya Agus Salim tidak menerima
beasiswa tersebut, justru Agus Salim ditawari bekerja di dinas luar
Belanda, untuk menempati posisi di Jeddah, Saudi Arabia. Agus Salim
adalah orang yang mempunyai prinsip. Ia menolak bekerja menjadi pegawai
pemerintah Belanda. Ayah Agus Salim, Sutan Mohammad Salim, memberi
penjelasan, bahwa yang menawarkan pekerjaan bukan pemerintah Hindia
Belanda, melainkan langsung di bawah pemerintah Belanda. Siti Zaenab,
ibu Agus Salim, sangat mendukung apabila Agus Salim menerima perkerjaan
itu. Tetapi karena keteguhan prinsip Agus Salim, maka perdebatan antara
Agus Salim dan orang tuanya, khususnya dengan Sutan Mohammad Salim
sering terjadi. Hal inilah yang membuat suasana rumah menjadi tidak
menyenangkan, karena Agus Salim dan Sutan Mohammad Salim sama-sama
memiliki sikap yang keras.
Karena
kejadian ini, Siti Zaenab, merasa sedih dan jatuh sakit, hingga pada
akhirnya meninggal dunia. Setelah peristiwa ini, Agus Salim akhirnya
mengambil keputusan untuk bekerja sebagai ahli terjemah (dragoman) dan mengurus jemaah haji Indonesia pada Konsulat Belanda di Jeddah untuk menghormati pesan terakhir ibunya.
Pada
tahun 1906, di usia 22 tahun, Agus Salim mulai bekerja di Jeddah. Ia
bekerja di Jeddah selama lima tahun. Meskipun mempunyai pengalaman
bersekolah di HBS, hal ini tidak membuatnya mudah diterima di kalangan
kantor pemerintah Belanda itu. Dalam bekerja, Agus Salim terus menerus
ditekan oleh atasan-atasannya, karena ketika bekerja, Agus Salim banyak
membela kepentingan para jamaah haji dibanding kepentingan Belanda.
Selain itu, Agus Salim hanya dianggap sebagai seseorang yang berasal
dari negeri jajahan. Setelah kejadian ini, Agus Salim bertekad tidak mau
lagi bekerja di bawah perintah Belanda.
Selama
lima tahun tinggal di Jeddah, Agus Salim memanfaatkannya untuk
menunaikan ibadah haji setiap tahunnya. Ia juga berguru untuk mengkaji
ilmu Islam kepada Syekh Ahmad Khatib seorang ulama, imam, dan guru besar
Madzhab Syafi’i di Masjidil Haram, yang tak lain adalah pamannya
sendiri. Dengan
modal pengetahuannya yang luas serta kemampuannya dalam menguasai
beberapa macam bahasa, maka dalam mempelajari ajaran agama Islam, Haji
Agus Salim lebih banyak membandingkan dengan penuh kritik daripada
mendengarkan fatwa guru semata. Hal inilah yang menjadikan pengkajiannya
terhadap Islam dan penguasaan bahasa Arab telah menimbulkan kesan.
Sekembalinya
dari Saudi Arabia (1911), Agus Salim banyak mengalami perubahan. Dalam
sejarah hidupnya, Agus Salim tidak saja dikenal sebagai pemimpin yang
hidup sederhana, politikus, wartawan dan pengarang, tetapi seorang ulama
dan diplomat yang ulung. Sepulangnya Agus Salim dari Jeddah, maka Agus
Salim lebih sering disebut dengan nama Haji Agus Salim.
Setelah kembali ke kampung halamannya, ia
menikah dengan saudara sepupunya sendiri yang bernama Zainatun Nahar.
Didikan Sutan Mohammad Salim berpengaruh terhadap cara pandang Haji Agus
Salim terhadap tradisi Minang. Setelah menikah, Haji Agus Salim
memutuskan untuk mencari rumah bagi dirinya dan istrinya. Seluruh
kerabat di rumah mempelai wanita menyatakan keberatan terhadap keputusan
yang dibuatnya. Berdasarkan adat Minangkabau yang dipegang secara turun
temurun, pasangan suami istri yang baru menikah, harus tinggal di rumah
orangtua si istri. Ada anggapan, sangat tidak layak apabila
meninggalkan rumah orangtuanya, atau bagian rumah yang disediakan oleh
pihak istri. Berdasarkan sistem matrilineal (sistem kekerabatan yang
mengikuti pola keturunan dari pihak ibu), rumah selalu disediakan bagi
menantu pria. Keluarga mempelai wanita, telah menyediakan rumah pusaka
adat beserta isinya untuk Haji Agus Salim dan istri, dan pihak keluarga
akan merasa kecewa apabila mereka akan meninggalkan tempat tersebut.
Dari sini, terlihat jelas perbedaan pendapat Haji Agus Salim yang
berpegang teguh dengan hukum Islam dan orang-orang yang memegang hukum
adat. Setelah terjadi pembicaraan yang lama, akhirnya keluarga wanita
dapat menerima pendapat Haji Agus Salim. Mereka pindah ke rumah sewaan
yang sederhana, bertempat di kota yang jauh dari Kota Gadang, yaitu di
Jakarta. Bagi Zainatun Nahar, keluar dari lingkungan ninik mamak ibarat melakukan langkah besar.
Di
dalam masyarakat Minangkabau, semangat untuk lebih maju didalam bidang
intelektual, seperti menjadi pegawai pamong praja, dokter, guru dan
lain-lain, banyak sekali peminatnya. Sedangkan yang memiliki minat
untuk menjadi ulama jauh lebih sedikit. Salah satu sebabnya karena
ulama-ulama yang ada pada masa itu belum mampu menerjemahkan Islam yang
sesui dengan perkembangan zaman, tetapi lebih bersifat doktrin. Menurut
Haji Agus Salim, ulama-ulama tersebut hanya mengutamakan segi ibadah dan
fiqih, dan melupakan segi kemasyarakatan Hal ini menyebabkan
orangtuanya menginginkan Agus Salim bekerja menjadi pegawai pemerintah
setelah lulus dari HBS pada 1903.
Berdirinya Hollands Indische School
(HIS) di Kota Gadang, selain sebuah tradisi berbakti dalam adat
Minangkabau, juga dilandasi dari pemikiran Haji Agus Salim yang
berpendapat bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting. Salah satu
penyebab dijajahnya bangsa Indonesia oleh bangsa Belanda karena bangsa
Indonesia belum terdidik. Memajukan pendidikan orang Indonesia adalah
salah satu alat untuk melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Di
sekolah yang didirikan Haji Agus Salim ini, berlaku aturan yang
istimewa. Anak-anak yang yang cerdas, tetapi tidak mempunyai biaya untuk
sekolah maka akan dibebaskan dari biaya sekolah. Guru-gurunya mengajar
dengan sukarela, mereka tidak mendapat gaji. Pendidikan kebangsaan
adalah pelajaran yang penting untuk disampaikan di dalam kelas di
sekolah yang dikelola oleh Haji Agus Salim ini. Haji Agus Salim
berpendapat: “Bibit kebangsaan perlu ditanamkan kepada anak-anak
disamping pelajaran-pelajaran lainnya. Anak-anak yang bersekolah di
sini, dipersiapkan untuk menjadi pemimpin, yang akan menggantikan
pemimpin yang telah tua’’.
Setelah tiga tahun membina Hollands Indische School
(HIS), maka pada tahun 1915, Haji Agus Salim menyerahkan pimpinan
sekolah di Kota Gadang kepada penggantinya. Selama tiga tahun Haji Agus
Salim telah meletakkan dasar yang kokoh dalam sekolah yang berbasis
pendidikan kebangsaan
beginilah cara mereka mencitai tanah airnya